Tahapan gagal ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama gagal ginjal terminal (GGT). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 mL/menit/1,73 m2. Pasien GGT, apa pun etiologi penyakit ginjalnya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP). Setelah menetapkan bahwa TP dibutuhkan, perlu pemantauan yang ketat sehingga dapat ditentukan dengan tepat kapan TP tersebut dapat dimulai.1,2
Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal eksresi dan faal endokrin. Pada GGT, kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi kedua faal ini. Hemodialisa adalah salah satu terapi pengganti yang digunakan sebagai pengganti sebagian faal esksresi ginjal.1,3,4
Hemodialysis (haemodialysis) adalah suatu metode yang diperuntukkan bagi para penderita gagal ginjal yang berfungsi untuk membuang produk sisa metabolisme, seperti potassium dan urea, dari darah. Sisa metabolisme yang tidak dibuang dan menumpuk dalam darah akan menjadi racun bagi tubuh. Pada penderita gagal ginjal, ginjal mereka sudah tidak dapat melakukan tugasnya membersihkan darah dari sisa metabolisme. Sehingga dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk menggantikan fungsi ginjal. Saat ini hemodialisa (HD) merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya dari tahun ketahun terus meningkat.5
Peralatan untuk terapi HD terdiri dari dializer, water treatment, larutan dialisat (konsentrat) serta mesin HD dengan sistem monitor.2,3
Dializer
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Material membran dializer dapat terbuat dari Sellulose, Sellulose yang disubstitusi, Cellulosynthetic, Synthetic. Spesifikasi dializer yang dinyatakan dengan Koeffisient ultrafiltrasi (Kuf) disebut juga dengan permiabilitas air. Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran. KoA dializer merupakan koeffisien luas permukaan transfer adalah kemampuan penjernihan dalam ml/menit dari urea pada kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat tertentu. KoA equivalen dengan luas permukaan membran, makin luas permukaan membran semakin tinggi klearensi urea. Dializer ada yang memiliki high efficiency atau high flux. Dializer high efificiency adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran yang besar. Dializer high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori besar yang dapat melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai permiabilitas terhadap air yang tinggi. Ada 3 tipe dializer yang siap pakai, steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk hollow-fiber (capillary) dializer, parallel flat dializer dan coil dializer. Setiap dializer mempunyai karakteristik tersendiri untuk menjamin efektifitas proses eliminasi dan menjaga keselamatan penderita. Yang banyak beredar dipasaran adalah bentuk hollowfiber dengan membran selulosa.2,3,5
bagan hemodialisa
Water treatment
Air yang dipergunakan untuk persiapan larutan dialisat haruslah air yang telah mengalami pengolahan. Air keran tidak boleh digunakan langsung untuk persiapan larutan dialisat, karena masih banyak mengandung zat organik dan mineral. Air keran ini akan diolah oleh water treatment sistim bertahap.2,3
Larutan dialisat
a. Dialisat asetat
Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standard untuk mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD. Dialisat asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan relatif stabil. Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat asetat harganya lebih murah tetapi efek sampingnya lebih banyak. Efek samping yang sering seperti mual, muntah, kepala sakit, otot kejang, hipotensi, gangguan hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis menjadi terganggu, intoleransi glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin. Adapun komposisi dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai berikut (tabel : 1 )
b. Dialisat bikarbonat
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk dalam konsentrat bikarbonat oleh karena konsentrasi yang tinggi dari kalsium, magnesium dan bikarbonat dapat membentuk kalsium dan magnesium karbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi mikroba karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Kontaminasi ini dapat diminimalisir dengan waktu penyimpanan yang singkat. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali HD bila menggunakan dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibanding dengan dialisat asetat.2,3,7
Mesin hemodialisis
Mesin HD terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada dializer. Kecepatan dapat diatur biasanya antara 200-300 ml per menit. Untuk pengendalian ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-390 C sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan penderita.2,3
Tusukan Vaskuler
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek teknik untuk program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Ada 2 tipe tusukan vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan permanen.1,2,3,7
ADEKUASI HEMODIALISIS
Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan hemodialisis disebut adekuasi hemodialisis (AHD). Secara klinis HD reguler dikatakan adekuat jika keadaan umum dan nutrisi penderita dalam keadaan baik, tidak ada menifestasi uremi dan diupayakan rehabilitasi penderita kembali pada aktifitas seperti sebelum menjalani HD. Adapun kriteria klinis adekuasi hemodialisi adalah sebagai berikut: 2,3
1. Keadaan umum dan nutrisi yang baik
2. Tekanan darah normal.
3. Tidak ada gejala akibat anemia.
4. Tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa.
5. Metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal.
6. Tidak didapatkan komplikasi akibat uremia.
7. Tercapai rehabilitasi pribadi, keluarga dan profesi.
8. Kualitas hidup yang memadai.
PEMANTAUAN PENDERITA.
a. Pemantauan sebelum dialisis.
1. Berat badan.
Berat badan sangat penting untuk menentukan peresepan dari hemodialisis, tidaklah mungkin memberikan peresepan yang sama antara berat badan kecil dan besar. Penelitian melaporkan bahwa pasien yang berat badan >68,2 kg dengan resep standad tidak mendapatkan AHD.Berat badan sebelum dialisis harus dibandingkan dengan berat penderita terakhir sebelum dialisis dan dengan berat kering target untuk mendapatkan ide perolehan berat interdialisis. Berat kering adalah berat badan setelah dialisis dimana seluruh atau sebagian cairan tubuh yang berlebihan telah dihilangkan. Jika berat kering terlalu tinggi penderita akan tetap dalam muatan cairan berlebihan pada akhir dialisis. Masukan cairan selama dialisis dapat menyebabkan edema dan kongesti pada paru. Jika berat kering terlalu rendah, penderita dapat menderita hipotensi, badan tak enak, perasaan lemah, pusing dan kejang otot setelah dialisis. Diusahakan mempertahankan berat interdialisis <1,0 kg/hari. Penerangan membatasi cairan, dahaga yang berat akibat aktifitas renin plasma yang tinggi.1,2,3,5,8
2. Tekanan darah.
Hipertensi biasanya dipengaruhi oleh renin ataupun beberapa faktor lain yang belum diketahui, pada penderita ini tekanan darah dapat meningkat selama dialisis, walaupun cairan dihilangkan. Pada beberapa penderita pada waktu HD dapat terjadi hipotensi intradialisis, penderita ini perlu penghentian medikasi tekanan darah pada hari dialisis, terutama yang didialisis pada waktu petang.1,2,3,6
3. Suhu
Demam yang timbul sebelum dialisis merupakan temuan yang serius perlu dicari penyebabnya. Manifestasi infeksi pada penderita dialisis sering tidak kentara. Kenaikan suhu sekitar 0,5 derajat selama dialisis adalah normal.1,2,3
4. Daerah akses.
Daerah akses vaskuler harus dipastikan dari tanda-tanda infeksi sebelum dialisis.2,3
b. Pada saat dialisis berjalan.
Tekanan darah dan denyut nadi diukur tiap 30 sampai 60 menit. Keluhan pusing ataupun perasaan lemah menunjukkan hipotensi dan membutuhkan segera pengukuran tekanan darah. Gejala-gejala hipotensi dapat tidak kentara, dan kadang asimtomatis sampai tekanan darah jatuh ketingkat yang membahayakan. 2,3
Pemeriksaan laboratorium.
a. Sebelum dialisis :
Urea-Nitrogen plasma.
Diukur setiap bulan sebelum tindakan dialisis pada minggu pertama atau minggu pertengahan, kadar >110 mg/dl atau <60 mg/dl berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Urea-nitrogen plasma sebelum dialisis dapat menunjukan katabolisme protein rata-rata pada penderita dengan pemasukan protein yang stabil. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi urea-nitrogen plasma sebelum dialisis seperti antara lain :2,3
Hasil urea-nitrogen plasma lebih tinggi dari yang diharapkan.
a. Peningkatan masukan protein.
b. Hiperkatabolisme (infeksi).
c. Perdarahan gastrointestinal.
d. Fungsi renal residual menurun.
e. Efisiensi hemodialisis menurun.
- Resirkulasi.
- Kehilangan klearensi pada pemakaian ulang dialiser
Hasil urea-nitrogen plasma lebih rendah dari yang diharapkan.
a. Penurunan pemasukan protein
- Kelelahan.
- Ekonomi.
- Disengaja.
b. Fungsi ginjalk residu meningkat.
c. Efisiensi hemodialisis meningkat.
d. Penyakit hati
b. Setelah dialisis :
1. Urea-Nitrogen plasma.
Konsentrasi urea-nitrogen setelah dialisis harus diukur setiap bulan, dan rasio urea-nitrogen plasma setelah/sebelum dialisis dipakai untuk menghitung Kt/V yang akan diberikan.2,3
2. Albumin.
Merupakan indikator penting keadaan nutrisi, albumin rendah merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas yang sangat kuat. Albumin <3,0 gr/ dl risiko morbiditas dan mortalitas meningkat. Dianjurkan Albumin> 4,0gr/dl dan setiap 3 bulan.2,3
3. Kreatinin.
Diperiksa sebelum dialisis setiap bulan. Kadar rata-rata yang biasa pada pasien HD 12-15 mg/dl (rentang 8-20 mg/dl). Pada penderita HD risiko morbiditas menurun apabila kadar kreatinin tinggi. Kreatinin plasma merupakan indikator massa otot dan status nutrisi. Kreatinin plasma dan urea-nitrogen harus diperiksa sekaligus. Jika perubahan pararel keduanya terjadi, maka perubahan dalam resep dialisis dan tingkat fungsi renal residual harus dipertimbangkan. Jika tingkat kreatinin plasma tetap konstan tetapi perubahan yang mencolok pada nilai urea-nitrogen plasma, perubahan pada yang terakhir paling mungking karena perubahan pemasukan protein diet atau katabolisme protein
endogen.2,3,6
4. Kolesterol.
Kolesterol adalah indikator status gizi. Mortalitas menurun apabila sebelum dialisis kadar kolesterol 200-250 mg/dl, tetapi kolesterol yang rendah (<150 mg/dl) akan meningkatkan mortalitas.1,2,6
5. Kalium.
Sebelum dialisis kadar K 5,0-5,5 mEq/liter dapat menurunkan resiko mortalitas, peningkatan resiko mortalitas terjadi pada kadar K>6,5 dan K<3,5 mEq/liter.3
6. Posfor.
Diperiksa setiap bulan, mortalitas menurun kadar posfor 5-7 mg/dl, dan meningkat pada kadar posfor <3,0 mg/dl atau posfor >9,0 mg/dl.3
7. Kalsium.
Diperiksa setiap bulan, dan lebih sering diperiksa apabila mengubah dosis vitamin D. Mortalitas menurun pada kadar 9-12 mg/dl dan mortalitas meningkat pada kadarnya >12 mg/dl dan <7 mg/dl.3
8. Alkalin fosfatase.
Diperiksa setiap 3 bulan, kadar yang tinggi merupakan tanda hiperparatirodisme atau penyaki hati. Mortalitas menurun pada kadar alkali fosfatase <100 u/liter, dan meningkat berlipat pada kadar alkali fosfatase >150 U/liter. Dianjurkan kadar alkalin fosfatase 30-115 u/liter.3
9. Bikarbonat.
Diperiksa setiap bulan. Mortalitas menurun pada kadar bikarbonat 20-22,5 mEq/liter, meningkat pada kadar yang lebih rendah dan lebih tinggi. Peningkatan mortalitas sangat tinggi kadar <15 mEq/liter sebelum dialisis. Asidosis sebelum dialisis bisa dikoreksi dengan pemberian alkali pada saat
dialisis.3
10. Hematokrit.
Sebelum dialisis hematokrit ideal 30 - 40%, Ht <30% meningkatkan risiko mortalitas Peningkatan hematokrit secara spontan (tanpa terapi eritropoetin) dapat merupakan tanda penyakit ginjal polikistik, penyakit kista renal yang diperoleh, hidronefrosis ataupun karsinoma ginjal.3
12. Fosfat.
Salah satu dari resiko mortalitas yang kuat adalah hiperfostatemia. Setengah dari penderita HD reguler akan mengalami hiperfostaemia terutama disebabkan oleh hiperparatiroid sekunder. Keadaan ini menyebabkan gangguan hemodinamik seperti hipertensi, kalsifikasi koroner, hipertropi ventrikel jantung kanan yang berhubungan dengan meningkatnya insiden kematian mendadak.3
12. Pemeriksaan laboratorium lainnya.
Aminotransferase plasma diperiksa setiap bulan, kadar yang meningkat dapat disebabkan penyakit hati yang tersembunyi. Pemeriksaan penyaring untuk mengetahui adanya antigen hepatitis B dan C. Kadar ferritin, besi serum, dan TIBC serta indeks eritrosit harus diperiksa setiap 3 bulan. Kadar hormon parathyroid dan kadar aluminium dapat diukur.3
Daftar pustaka :
1. 1.Rahardjo, P., E. Susalit dan Suhardjono. 2006. Hemodialisis. Hal. 590-591. Dalam : Aru W Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, M. Simadibrata K. dan Siti Setiati (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
2.
2.NKF-K/DOQI. 2002. Clinical Practise Guidlines For Chronic Kidney Disease : Evaluation, Classification and Stratification. American Journal of Kidney Disease. vol 39 No.2:S46-S238
3.
3.Gatot, D. 2003. Rasio Reduksi Ureum Dializer 0,90; 2,10 Dan 2 Dializer Seri 0,90 Dengan 1,20. Skripsi. Fakultas Kedoktean Universitas Sumatra Utara, Medan. 1 hal. (dipublikasikan)
4.
4.Becker, G. J., J. A. Whitworth dan P. K. Smith. 1992. Clinical Nephrology in Medical Practice. Blackwell Scientific Publications, London. 143-160 hal dan 360-367 hal
5.
5.Chobanian A. V., G. L. Bakris, H. R. Black. 2003. The seventh Report of The Joint Nationatl Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Preassure. Hypertension. 42 : 1206-52
6.
6.Hellestein dan Parks. 2004. Obesity and Overweight. Hal. 1085. Dalam : Robert H. Williams (Ed). Basic and Clinical Endocrinology. The McGraw- Hill Companie, Amerika
7.
7.Parmar, M. S. 2002. Chronic Renal Disease. (On-line). British Medical Journals. Diakses 20 Maret 2010
1. 8.Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Edisi II. EGC, Jakarta.461-485 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar